Sejarah industri minyak modern
tidak bisa lepas dari nama Edwin Laurentine Drake
(1819-1880) yang dikenal juga sebagai Colonel Drake. mBah Drake
ini didaulat juga sebagai
“Bapak” industri perminyakan modern, karena pada tanggal 27 Agustus 1859 untuk
pertama kalinya melakukan pengeboran minyak secara komersil di Titusville,
Pennsylvania, Amrik sana. Pada hari itu mata bor mBah Drake menyentuh lapisan
minyak pada kedalaman 60,5 kaki (± 21 meter). Meskipun jika kita merujuk pada
bukunya Ida Tarbell pada
tahun 1904 dalam bukunya “The History of Standard Oil”
menyebutkan bahwa sumur minyak yang dibuatnya bukan merupakan idenya mBah
Drake, tapi ide dari pekerjanya yaitu George
Bissell.
Jauh sebelum mBah Drake memulai manték
bumi untuk ngebor minyak, minyak bumi sudah diketahui dan digunakan sebagai
alat perang pasukan Alexander Yang Agung (356 SM - 323 SM) untuk digunakan pada
anak panah berapi dan katapel besar yang menggunakan bola peluru berapi.
Di Indonesia sendiri konon minyak telah digunakan juga sebagai alat perang oleh
armada kapal pasukan Kerajaan Sriwijaya, meskipun saya sendiri belum
pernah melihat atau membaca data otentik tersebut.
Sejarah perminyakan di Sumatra
Kisah heroik
pejuang Aceh dan muhibah utusan Sriwijaya merupakan kisah tentang awal mula diketahui
adanya minyak bumi di Indonesia. Namun sumur tidak ditemukan di Aceh, tapi
justru di Sumatera Utara (Sumut), persisnya di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei
Lepan, Kabupaten Langkat, sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota
Sumatera Utara.
Penemu
sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon
Zijlker, yang merupakan ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco
Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu.
Penemuan itu sendiri merupakan buah perjalanan waktu dan ketabahan yang
mengagumkan. Prosesnya dimulai setelah Zijlker mengetahui adanya kemungkinan
kandungan minyak di daerah tersebut. Ia
pun menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna
melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu dana diperoleh, perizinan pun
diurus. Persetujuan konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa,
diperoleh pada 8 Agustus 1883. Tak
membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker.
Namun bukan di tempat sumur minyak pertama itu, melainkan di daerah yang
belakangan disebut sebagai sumur Telaga Tiga. Namun minyak mentah yang
diperoleh kurang menggembirakan. Pada 17 November
1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh
hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga,
membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. Namun
Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian
mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang berada di sebelah timur.
Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup
wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan
Brandan, sehingga bisa mencari lebih banyak titik pengeboran. Pilihan kedua
jatuh ke Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit
kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika dibandingkan dengan struktur
tanah di Telaga Tiga. Usaha memupus rintangan struktur tanah yang keras itu,
akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter,
berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat
mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai
86.402 liter. Jumlah itu terus bertambah hingga pada 15 Juni 1885, ketika
pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas
dari dalam berikut mintak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur
itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I. Penemuan
sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan
sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville,
negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith
dari Seneca Oil Company. Zijlker
memang bukan orang pertama yang melakukan pengeboran minyak di Indonesia.
Bahkan pada saat yang hampir bersamaan dengan Zijlker, seorang Belanda lainnya
Kolonel Drake, juga tengah melakukan pencarian ladang minyak di Pulau Jawa,
namun Zijlker mendahuluinya. Semburan
minyak dari Sumur Telaga I jadi momentum pertama keberhasilan penambangan
minyak di Indonesia.
Nama Aeliko Janszoon Zijlker pun tercatat dalam Sejarah Pertambangan dan
Industri Perminyakan Indonesia, sebagai penemu sumur minyak pertama dalam
sejarah perminyakan di Indonesia yang telah berberusia 119 tahun hingga saat
ini. Telaga
Tunggal I itu sendiri akhirnya akhirnya berhenti operasi pada tahun 1934
setelah habis minyaknya disedot pemerintah Belanda yang mengelola ladang minyak
ini melalui perusahaan Bataafsche Petroleum Matschappij (BPM). Ketika
ditinggalkan pada tahun 1934, jutaan barel minyak sudah berhasil dikeluarkan
dari bumi Langkat melalui Sumur Telaga Tunggal. Beberapa sumur lainnya juga
ditemukan di sekitar areal Telaga Tunggal I, namun juga sudah ditinggalkan
sejak lama. Setidaknya ada empat bekas sumur minyak di sekitar itu. Lokasinya
juga tidak tidak bergitu berhjauhan, hanya dipisahkan sebuah bukit. Tetapi
setelah 119 tahun, sejak pemboran pertamanya, sumur itu ternyata tidak
benar-benar kering. Beberapa tahun belakangan, minyak menetes dari pompa minyak
yang terdapat di situ. Tetesan minyak dari sumur-sumur di kawasan itu masih ada
sampai sekarang. Sementara di beberapa sudut, minyak juga merembes, membasahi
daun-daun kering dan rumput di sekitarnya. Tetesan
minyak ini bukannya tidak berguna. Warga sekitar yang mengumpulkannya dalam
drum, lantas dijual kepada kilang minyak Pertamina di Pangkalan Brandan untuk
diolah menjadi BBM. Pertamina
DOH NAD Area Operasi Pangkalan Brandan yang mengelola areal sejarah ini, memang
mempunyai kebijakan untuk memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan sisa-sia
minyak dari sumur. Selain untuk menjaga agar tidak terjadi pencemaran, juga
untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Uang yang diperoleh dari penjualan
minyak itu selanjutnya menjadi kas LKMD warga. Membicarakan
Sumur Minyak Telaga I tidak bisa lepas dengan Kilang Minyak Pangkalan
Brandan. Keduanya saling berkaitan. Catatan sejarah perjuangan bangsa juga
melekat di sini. Kilang
Pangkalan Brandan yang dikelola Unit Pengolahan (UP) I Pertamina Brandan,
merupakan salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia, delapan
lainnya adalah, Dumai, Sungai Pakning, Musi (Sumatera), Balikpapan
(Kalimantan), Cilacap, Balongan, Cepu (Jawa), dan Kasim (Papua). Ketika
dibangun N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 1891 dan mulai
berpoduksi sejak 1 Maret 1892, kondisi Kilang minyak Pangkalan Brandan, tentu
saja tidak sebesar sekarang sekarang ini. Waktu itu peralatannya masih
terbilang sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil. Bandingkan
dengan kondisi sekarang, kilang yang berada di Kecamatan Babalan Langkat saat
ini berkapasitas 5.000 barel per hari, dengan hasil produksi berupa gas elpiji
sebanyak 280 ton per hari, kondensat 105 ton per hari, dan beberapa jenis gas
dan minyak. Nilai
sejarah kilang ini terangkum dalam dua aspek. Aspek pertama adalah memberi
andil bagi catatan sejarah perminyakan Indonesia,
sebab minyak pertama yang diekspor Indonesia bersumber dari kilang ini. Momentum
itu terjadi pada 10 Desember 1957, yang sekarang diperingati sebagai hari lahir
Pertamina, saat perjanjian ekspor ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina
Ibnu Sutowo dengan Harold Hutton yang bertindak atas nama perusahaannya
Refining Associates of Canada (Refican). Nilai kontraknya US$ 30.000. Setahun
setelah penandatanganan kontrak, eskpor dilakukan menuju Jepang dengan
menggunakan kapal tanki Shozui Maru. Kapal berangkat dari Pangkalan Susu, Langkat, yang merupakan
pelabuhan pengekspor minyak tertua di Indonesia. Pelabuhan ini dibangun
Belanda pada tahun 1898. Sedangkan
aspek kedua adalah nilai perjuangan yang ditorehkan putra bangsa melalui kilang
ini. Kisah heroiknya berkaitan dengan Agresi Militer I Belanda 21 pada Juli
1947, yakni aksi bumi hangus kilang. Aksi
bumi hangus dilaksanakan sebelum Belanda tiba di Pelabuhan Pangkalan Susu,
yakni pada 13 Agustus 1947. Maksudnya, agar Belanda tidak bisa lagi menguasai
kilang minyak itu seperti dulu. Selanjutnya, aksi bumi hangus kedua berlangsung
menjelang Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Tower bekas aksi
bumi hangus itu masih dapat dilihat sampai sekarang. Nilai
historis yang terkandung dalam aksi bumi hangus ini, terus diperingati sampai
sekarang. Pada 13 Agustus 2004 lalu, upacara kecil dilaksanakan di Lapangan
Petralia UP I Pertamina Brandan, yang kemudian bersamaan dengan dekralasi
pembentukan Kabupaten Teluk Aru, sebagai pemekaran Kabupaten Langkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar